Pilbup 2020 Dan Pandemi Covid- 19, Etalase Ketahanan Pengawasan Pemilu 2024

Oleh: Ria Sukandi Anggota Dewan Pertimbangan IKA- PMII Lombok Utara.

Partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum (Henceforth: PEMILU) 2019 adalah tingkat partisipasi tertinggi dalam gelaran PEMILU di gumi Tioq Tata Tunaq. Angka partisipasi masyarakat Lombok Utara pada pemilu 2019 mencapai 85 %. Capaian ini merupakan prestasi membanggakan bagi KPU Lombok Utara sebagai lembaga penyelenggara pemilu di daerah ini. Terlebih lagi di-tengah kebangkitan masyarakat menata sendi-sendi kehidupan setelah dikoyak gempa bumi dahsyat 5 Agustus tahun 2018. Kendati demikian, hal tersebut menjadi beban berat bagi KPU setempat dan penyelenggara ad hoc di bawahnya dalam mempertahankan atau bahkan peningkatan dalam pelaksanaan pemilihan bupati/walikota secara serentak 2020 bersama enam daerah lainnya di NTB. 
Dikatakan beban berat, lantaran hampir dua tahun setelah dirundung bencana gempa bumi beruntun dengan kuantifikasi ribuan kali dalam hitungan bulan, kini kita tengah dimalangi oleh bencana yang jauh lebih menakutkan, yaitu wabah pandemi virus corona atau terkenal dengan COVID-19. Wabah yang kali pertama muncul dan menjangkiti masyarakat Kota Wuhan, Cina. Bencana non-alam yang jauh lebih menyeramkan bahkan menggegerkan dunia. Imbas dominonya pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan berkumpul bagi seluruh lapisan dalam masyarakat, tanpa terkecuali. Mulai dari imbauan social distancing, physical distancing, menggunakan masker jika hendak keluar rumah, cuci tangan pakai sabun, berdiam diri di rumah sembari menjaga kesehatan menerap PHBS hingga edaran tidak boleh melakukan aktivitas beribadah di masjid, musala, langgar dan tempat-tempat ibadah lain bagi pemeluknya. Sungguh miris memang. Di beberapa daerah di Indonesia misalnya bahkan telah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. 
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 448 menegaskan pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, jajak pendapat serta perhitungan cepat hasil pemilu. Semangat partisipasi ini kemudian dipertegas dalam Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2018 tentang sosialisasi, pendidikan pemilih dan partisipasi masyarakat dalam pemilu, di mana partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan perorangan dan/atau kelompok dalam penyelenggaraan pemilu. Miriam Budiardjo berpandangan bahwa partisipasi politik (masyarakat) adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan itu mencakup tindakan pemberian suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct action-nya, dan sebagainya (Miriam Budiardjo: Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, 2008). 
Mengacu pada pemaknaan partisipasi di atas, tingkat kehadiran pemilih ke TPS bukanlah menjadi satu-satunya parameter partisipasi masyarakat, tetapi ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat guna berpartisipasi dalam pemilu di antaranya menghadiri kampanye, menjadi pemantau, menjadi penyelenggara pemilu ataupun menjadi peserta pemilu. Tetapi tidak bisa dimungkiri secara kuantitatif parameter keberhasilan pemilu ternyata dilihat dari seberapa besar jumlah pemilih yang memberikan hak pilih dalam pemilu yang mewujudkan tingkat partisipasi masyarakat. Artinya semakin tinggi persentase tingkat kehadiran pemilih dalam menyalurkan hak pilihnya, semakin berhasil pula pelaksanaan pemilu, demikian juga sebaliknya.
Antitesis dengan hal tersebut, banyak hal yang jadi penyebab langsung seseorang tidak menggunakan hak pilihnya. Semisal pada hari pencoblosan pemilih sedang sakit, ada kegiatan yang lain, ada di luar daerah mengakibatkan tidak sempat mengurus surat pindah memilih, pekerjaan sehari-hari yang memaksa pemilih untuk tidak hadir di TPS juga jadi faktor teknis sehingga menghalanginnya untuk menggunakan hak pilihnya. Lalu, tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau bahkan tidak percaya pada pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan, ketidakpercayaan dengan kandidat atau peserta pemilu. Selain itu, rentetan jadwal pemilu dan pemilihan yang berhimpitan mulai pilkada 2015, 2017, 2018, hingga pemilu 2019 juga dikhawatirkan menimbulkan kejenuhan yang kemudian berakibat mereduksi keinginan datang ke TPS. 
Etalase ketahanan pengawasan dapat dirujuk pada kondisi KPU Lombok Utara ketika menggelar pemilihan bupati serentak pada tanggal 9 Desember 2020. Tugas berat bagi KPU dan perangkat penyelenggara pilbup di bawahnya adalah strategia yang diterapkan guna mempertahankan dan bahkan meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat pada angka 85 %. Mewujudkan hal itu, KPU Kabupaten Lombok Utara mesti menemukan formula jitu untuk menyadarkan dan menggandeng semua elemen yang terlibat dalam pemilihan bupati. Tidak terlepas juga tanggung jawab besar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lombok Utara guna mempertahankan persentase meningkatkan partisipasi masyarakat, sebagai badan pengawasan staretgi dan kemitraan membutuhkan kolaborasi semua pihak termasuk pemerintah daerah, partai politik, pasangan calon dan masih banyak lagi stakeholder yang niscaya bersinergi dan bahu membahu melaksanakan tugas demokratis tersebut.
Suksesnya penyelnagagran pilbup tahun 2020 dimasa wabah tersebut nampak berlanjut pada perhelatan Pileg dan Pilpres pada pemilu yang digelar pada tanggal 14 Februari 2024, berdasarkan kesepakatan antara penyelengara pemilu serentak dan pemerintah tidak terlepas dari kondusifitas masyarkat.
Ditambah masa pandemi yang belum usai, pada kondisi yang bersama Penyakit Mukut dan Kuku (PMK) yang sempat mewabah dan mengalami kecendrungan menurun saat ini menyisakan kisah tersendiri bagi masyarakat karena satu dari sekian aset yang dimiliki menjadi lumbung satu- satunya harapan mereka, kerja keras dan kerja berat penyelenggaraan Pemilu.
Bawaslu sebagai garda terdepan pengawasan pemilu  pelan namun pasti telah mendapatkan bentuk ketahanannya dalam menjaga serta merawat keberlangsungan demokrasi dalam kontek kepemiluan.
Kendati itu tidakpun bisa terlepas dari pelbagai tantangan Pertama, soal regulasi dalam kerangka penegakan hukum Pemilu. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasal yang mengatur tentang subjek hukum pelanggaran terkesan parsial dan cenderung sulit untuk diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu. 
Sedemikan tantangan yang identik terjadi pada kasus pemberian politik uang dipraktekkan oleh relawan atau orang suruhan yang tidak terdaftar dalam Surat Keputusan KPU sebagai pelaksana ataupun tim kampanye. Sehingga dalam penanganan pelanggaran tidak dapat dijerat dengan pasal 523 tersebut.
Kedua adalah sedikitnya jumlah pengawas ad-hoc di tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Seperti, pengawas kelurahan/desa (PKD) yang jumlahnya satu orang. M
Banyaknya TPS dan luasnya area pengawasan ini yang secara bersamaan juga ditambah dengan beban tugas ketika terjadi pertemuan irisan tahapan antara Pemilu dan Pilkada.
Secara makro tantangan besar bagi pengawas adalah berakhirnya masa jabatan anggota Bawaslu kabupaten/kota pada tanggal 18 agustus 2023. Tersisa 13 Bulan sejak hari ini untuk melakukan semua persiapan sesuai kesepakatan di Tingkat Pusat.
Kondisi psikologis penyelenggaraan pengawasan tahapan- tahapan akan terjadi rekrutmen anggota Bawaslu Kabupaten/ Kota di tengah jalan atau bahkan di puncak tahapan Pemilu dan Pilkada Tahun 2024, tapi tentu memang hal itu tuntutan regulatif yang baku. 
Kesadaran politik dan demokrasi yang tumbuh dalam ekosistem kehidupan bermasyarakat sebuah daerah. Kedewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi, tercermin dari berhasilnya seluruh komponen baik Penyelnggara, pemerintah dan peserta pemilu demi meminamlisir kecenderungan masyarakat yang apatis terhadap politik.
Sederet masalah tersebut menjadi etalase ketahanan pengawasan  tersendiri, kendati itu masih ada hal di luar pengawasan tahapan yang dilakukan Bawaslu. Hal itu berangkat karena Cita KPU pula Cita Bawaslu dalam mewujudkan pemilu yang berkesesuaian. Allahu A'lam. (*)


Tags: