Dinamika Politik Kebangsaan Perspektif UU No 7/2017

Oleh: Awaludin, SH, MH (Dosen dan praktisi Hukum Universitas 45 Mataram)

Grafikanews.com — PASCA pemberlakuan Undang–Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menarik mencermati dinamika politik kebangsaan di Indonesia. UU ini lahir untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap UU sebelumnya yang mengatur pemilu. 

Reformasi di Indonesia bergulir tahun 1998/1999, salah satu spirit yang diusung reformasi berkenaan dengan penataan sistem kepartaian dan terlaksananya sistem pemilu yang mencerminkan representasi aspirasi warga negara melalui pemilu sebagai kanal kedaulatan rakyat. Tujuannya dapat lahirnya pemimpin dan/atau wakil rakyat dengan basis legitimasi yang kuat dari konstituen, dalam hal ini rakyat itu sendiri. 

Mencapai tujuan munculnya pemimpin dan wakil rakyat dengan basis legitimasi yang kuat, harus dibersamai dengan semangat dan ikhtiar segenap anak bangsa dengan berbagai latara belakang, kepentingan, tujuan maupun metode yang harus ditempuh, salah satunya adalah melalui jalur hukum yaitu perubahan undang-undang pemilihan umum dari masa ke masa. 

Tercatat sejak bergulirnya reformasi 1998, UU  Pemilu kurang lebih telah mengalami 4 kali, dimana setiap terjadinya perubahan selalu dilatarbelakangi kondisi sosial politik yang menuntut perubahan tersebut. Dinamika kondisi ini muncul seiring dengan pergantian rezim pemerintahan dengan kondisi yang berbeda-beda dalam periodisasinya. 

Lahirnya UU nomor 7 tahun 2017 sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia yang berlaku sampai saat ini. Sebelum UU ini disahkan berbagai isu pun  berkembang luas, diantaranya diperlukannya sistem kepemiluan yang sederhana, efektif dan efisien, sehingga melahirkan wacana pemilu serentak. Isu yang tidak kalah penting menjadi sorotan publik ketika itu adalah keterwakilan perempuan atau gender menjadi peserta dan penyelenggara pemilu. 


Wacana keterwakilan gender menyeruak dilatarbelakangi melihat potret kondisi sebelumnya terutama pada masa orde baru, karena ketiadaan dasar hukum keterwakilan perempun di lembaga-lembaga politik di satu sisi, dan belum adanya semangat untuk mendorong kiprah kaum perempuan untuk ikut serta berpolitk praktis di tanah air. 

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945, pada Pasal 28 c ayat (2) amandemen ke-2 menyatakan: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Mengacu ketentuan ini, maka hak asasi bagi setiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan untuk memeperjuangkan hak-hak politiknya secara kolektif. 

Isu lain yang juga tidak kalah menjadi sorotan dalam UU nomor 7 tahun 2017 adalah ketentuan ambang batas partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum yaitu 20 % dari jumlah anggota DPR dan/atau 25 % dari jumlah suara dalam pemilu. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa tatacara pelaksanaan dan pengatuan hak-hak politik harus diatur secara tegas dan jelas. Hal ini bertujuan untuk dapat tecapainya kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Pasalnya, salah satu tujuan utama hukum dalam penyelenggaraan pemlu yaitu adanya jaminan kepastian hukum. 

Pelaksanaan pemilu dari masa-masa telah mengalami berbagai dinamika dan tantangan tersendiri dengan berbagi isu-isu yang melatarbelakangi dan mengutatinya. Artinya apapun situasi dan kondisi kebatinan anak bangsa pada saat berlangsungnya pemilu sebagai momentum mengevaluasi seacara politis arah kebijakan dan pelaksanaan kinerja eksekutif dan legislatif. Apabila manfaat dan perbaikannya dirasakan secara nyata maka rakyat akan mengapresiasi setinggi-tingginya dengan memberi dukungan kembali mandat politik mereka kepada calon legislatif maupun pasangan presiden/wakil presiden. 

Ini berarti pula bahwa pemilu sebagai sarana atau cara untuk mengisi jabatan-jabatan politik di Indonesia, baik jabatan di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif di ranah pusat maupun di ranah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Sebab domain pemilu dalam paradigma UU nomor 7 tahun 2017 adalah pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten /Kota. Itulah kenapa pemilu harus benar-benar dilaksanakan berdasarkan azas-azas pemilu: langsung umum, bebas rahasia, jujur dan adil. Pun prinsip-prinssip penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis dan akuntabel. Intinya, dinamika politik kebangsaan di Indonesia ditilik dari sudut pandang UU nomor 7 tahun 2017 semata-mata memberikan ruang seluas-seluas untuk suksesi pemilu serentak, pemberian partisipasi keterwakilan di lembaga-lembaga strategis negara dan penyelenggara pemilu. Kemudian ketentuan ambang batas partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden mengikuti kontestasi pemilu, serta jaminan kepastian hukum hak-hak politik individu warga negara.

Tags: